Sabtu, 30 Mei 2015

Kuasa Mengampuni Dosa

Setelah Yesus bangkit dari kematian, para muridNya berkumpul di suatu tempat dengan pintu-pintu tertutup karena takut kepada orang-orang Yahudi. Yesus lalu menampakkan diri kepada mereka (lihat Yohanes 20:19).

Kemudian, Yesus menghembusi mereka dengan Roh Kudus sambil berkata, "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada." (Yohanes 20:22-23)

Dari peristiwa tersebut kita dapat menyimpulkan, setiap pengikut Kristus yang telah memiliki Roh Kudus dalam dirinya, juga mempunyai kuasa untuk mengampuni dosa. Kita dapat menyatakan dosa seseorang tetap ada atau kita mengampuni dosa orang itu. Kuasa yang sungguh besar ini diberikan kepada kita.

Di satu sisi, kita bisa saja sesuka hati tidak mau mengampuni kesalahan orang yang kita anggap telah amat sangat merugikan kita. Bukankah kita memiliki kuasa untuk menyatakan dosa seseorang tetap ada?

Namun, di sisi lain Yesus mengajarkan kita mengampuni kesalahan orang lain: "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu. (Markus 11:25)

Gunakanlah kuasa mengampuni dosa yang diberikan Yesus melalui Roh KudusNya ini dengan sangat bijaksana. Ingatlah akan perumpamaan hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta kepada rajanya. Hutang yang besar itu dihapuskan karena belas kasihan raja. Tetapi hamba itu tidak mau menghapus hutang temannya yang hanya seratus dinar. Kebaikan hati kita mengampuni dosa orang lain paralel dengan kebaikan hati Bapa  mengampuni dosa-dosa kita.

Kamis, 21 Mei 2015

Bertahan dalam Penantian

Menanti adalah pekerjaan yang menimbulkan harapan sekaligus kecemasan selama penantian. Contohnya, ketika kita menanti anak kita pulang ke rumah dari bepergian. Kita berharap segera bertemu dengannya, tetapi selama menanti itu kita diwarnai kecemasan apalagi jika hari sudah larut malam.

Menanti dengan batas waktu tertentu lebih ringan, daripada menanti tanpa batas waktu yang jelas. Misalnya, seseorang berjanji bertemu dengan kita lima jam lagi. Kita menantinya, tetapi kita tenang karena yakin lima jam lagi akan berjumpa dengan orang itu. Lain halnya jika kita diminta menanti terus, tanpa batas waktu sebagai akhir penantian.

Itulah yang terjadi dengan kesebelas rasul dan Bunda Maria, ketika Yesus telah naik ke Surga. Yesus berpesan agar mereka tetap bertahan di Yerusalem, menanti kedatangan Roh Kudus. Yesus tidak mengatakan batas waktu penantian itu (lihat Kisah Para Rasul 1:4).

Tak ada yang tahu, kapan penantian akan berakhir. Setiap hari mereka berkumpul di ruang atas untuk berdoa (lihat Kisah Para Rasul 1:13-14). Ada harapan, namun diliputi kecemasan. Mereka takut pada orang-orang Yahudi.

Dalam masa penantian yang tak berujung ini, orang-orang yang menanti cenderung beralih dari fokus yang dinanti. Tidak ada kejelasan, sementara banyak tawaran lain yang menarik datang menghampiri.

Satu hal yang diperlukan: bertahan dalam penantian!  

Memang tidak enak - membosankan, membuat hati berharap-harap cemas, ingin segera mencapai akhir penantian. Namun, jangan berpaling dari fokus, yang dapat membuat kita menyesalinya setelah penantian berakhir.

IA yang menjanjikan, tentu tahu batas kesanggupan penantian setiap manusia. Jika kita tetap bertahan dalam penantian, yakinlah, kebahagiaan telah menunggu di ujung penantian.

Selasa, 19 Mei 2015

Dicari: Kaum Awam yang Kudus

Menarik mencermati perbandingan orang kudus yang berasal dari kaum religius (imam, biarawan, biarawati) dan kaum awam, seperti ditampilkan dalam tabel di bawah ini:



          Era Paus
Kanonisasi Kaum Religius
Kanonisasi Kaum Awam
Beatifikasi Kaum Religius
Beatifikasi Kaum Awam
Paus Yohanes Paulus II (27 thn)
480
2
1.324
14
Paus Benediktus XVI (8 thn)
42
3
811
32
Sumber: dari Buku Sumber Tak Pernah Kering – Catatan Keteladanan Para Kudus Awam karya Paulus Widyawan Widhiasta, Penerbit Kanisius tahun 2015 - yang dijadikan tabel.


Minggu 17 Mei yang lalu, Paus Fransiskus menganugerahkan gelar "Santa" (kanonisasi) kepada empat biarawati: Santa Mariam Bawardy dan Santa Marie Alphonsine Danil Ghattas - keduanya berasal dari Palestina; serta Santa Jeanne Emilie de Villeneuve dari Perancis dan Santa Maria Cristina Brando dari Italia.

Kembali, kaum berjubah yang dikanonisasi. Mengapa hanya sedikit kaum awam yang layak disebut Santo/Santa dan Beato/Beata?

Kita dapat beralasan, kaum religius memang pantas disebut kudus, karena cara hidup mereka mengarah pada kekudusan. Mengawali setiap hari, mereka bersatu dengan Kristus dalam Sakramen Ekaristi. Mereka memiliki disiplin doa yang ketat - pagi, sore, dan malam hari. Mereka melakukan retret berkala, membaca Kitab Suci dan buku-buku rohani. Mereka mencerminkan Kristus kepada sesama yang mereka layani.

Kaum awam pun dapat berbuat seperti yang dilakukan kaum berjubah!

Awalilah hari dengan hadir dalam Perjamuan Kudus untuk bersatu dengan Kristus. Daraskan doa harian dan doa devosi seperti Rosario, Koronka, Roh Kudus, Jiwa-Jiwa di Api Penyucian, devosi kepada Malaikat Agung dan Orang Kudus tertentu. Bukan untuk terus meminta, melainkan untuk menghormati, bersyukur, serta berdoa bagi orang-orang yang membutuhkannya.

Bacalah renungan harian yang tersedia dalam buku renungan. Berbagai buku renungan harian ditawarkan, pilihlah yang paling sesuai. Pada setiap renungan, tercantum bacaan Kitab Suci untuk hari itu. Dengan demikian, kita pun membaca Alkitab setiap hari. Jika masih ada waktu, kita dapat membaca buku-buku rohani lainnya.

Sebagai pengikut Kristus, setiap kita - baik kaum berjubah maupun kaum awam - diharapkan dapat menjadi "Kristus yang lain" - mencerminkan sifat-sifat Kristus melalui perkataan, sikap, dan perilaku kita sehari-hari. Inilah bukti nyata kita tinggal di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita.

Jika kaum awam semuanya menerapkan seperti yang dikemukakan di atas, maka tak ada lagi perbedaan kerohanian antara kaum berjubah dengan kaum awam. Yakinlah, dengan cara ini akan semakin banyak kaum awam yang menjadi orang kudus.  

Senin, 18 Mei 2015

Suara Hati

Rasul Yohanes mengatakan, jikalau hati kita tidak menyalahkan kita, maka kita berani menghadap Allah. Apa yang kita minta akan kita dapatkan, karena kita taat pada perintah-perintahNya dan melakukan apa yang menyenangkan hatiNya (lihat 1 Yohanes 3:21-22).

Hati kita dapat menyalahkan kita kalau kita berbuat salah dan dosa, karena suara hati adalah suara Roh Kudus. Sebaliknya, jika hati kita tidak menyalahkan kita, berarti kita sudah berada di jalan yang benar, melakukan apa yang berkenan kepada Tuhan.

Kalau kita sering mengabaikan suara hati, lama-kelamaan suara hati menjadi pudar dan tak terdengar. Kita kehilangan arah yang benar. Tetap ada suara lain yang terdengar dari dalam hati kita, namun bukan suara Roh Kudus. Lebih pada suara egoisme manusia, yang kita sangka adalah suara hati yang benar.

Bersihkanlah selalu hati kita, agar kita dapat mendengar suara hati yang sejati.
 

Minggu, 17 Mei 2015

Ditinggalkan Roh Tuhan

Saul adalah raja pertama bangsa Israel di zaman nabi Samuel. Semula bangsa Israel yang telah tinggal di tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan Tuhan, tidak mempunyai raja. Raja mereka adalah Allah Semesta Alam. Tetapi, kemudian bangsa Israel mengingini seorang raja, seperti bangsa-bangsa lain. Nabi Samuel telah mengingatkan, adanya raja akan membawa petaka. Namun, karena bangsa Israel tetap bersikukuh, Tuhan mengabulkan permintaan umat pilihanNya dengan menjadikan Saul sebagai raja.

Setelah menjadi raja, beberapa kali Saul tidak taat kepada Allah. Misalnya, sebelum menyerbu bangsa Filistin, bangsa Israel mempersembahkan korban bakaran kepada Allah lebih dulu. Saul menunggu kedatangan nabi Samuel, tetapi karena sang nabi tidak kunjung tiba, Saul mempersembahkan sendiri korban bakaran.

Ketika nabi Samuel datang dan mengetahui apa yang telah diperbuat Saul, ia berkata, "Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah Tuhan. Sekarang kerajaanmu tidak akan tetap. Tuhan telah memilih seorang yang berkenan di hatiNya untuk menjadi raja atas umatNya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu." (lihat 1 Samuel 13:5-14)

Ketidaktaatan Saul yang kedua adalah ketika ia dipercaya Tuhan menumpas orang Amalek. Tuhan mengatakan semua harus dimusnahkan tanpa kecuali. Tetapi Saul menyisakan Agag, raja orang Amalek; kambing domba, lembu, dan segala yang berharga juga tidak dimusnahkan.

Tuhan lalu berkata kepada nabi Samuel, "Aku menyesal, karena Aku telah menjadikan Saul raja, sebab ia telah berbalik dari pada Aku dan tidak melaksanakan firmanKu." (lihat 1 Samuel 15:1-35) Selanjutnya, karena ketidaktaatan Saul, Roh Tuhan mundur darinya. Atas perkenan Tuhan, ia diganggu roh jahat. (lihat 1 Samuel 16:14)

Kita dapat menarik hikmah dari pengalaman Saul. Ketaatan kepada Tuhan tidak bisa setengah-setengah. Harus total. Jangan sampai karena ketidaktaatan, kita ditinggalkan Roh Tuhan dan menjadi mangsa roh jahat.

Sabtu, 16 Mei 2015

Berbicara Bahasa yang Baru

Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, (Markus 16:17)

Berbicara bahasa yang baru bukan berarti tiba-tiba menguasai satu atau lebih bahasa asing.
Berbicara bahasa yang baru bukan berarti melantunkan bahasa roh yang tak dipahami kebanyakan orang.

Berbicara bahasa yang baru adalah menjadikan Cinta sebagai bahasa yang universal.
Bahasa Cinta - bahasa baru karya Roh Kudus dalam hati setiap orang percaya. 

Jumat, 15 Mei 2015

Penolong yang Lain

Ingat ketika Anda mengantar anak pertama kali masuk sekolah taman kanak-kanak? Kebanyakan anak kita minta ditemani. Ia merasa tidak nyaman, takut menghadapi lingkungan baru. Beberapa hari pertama, pihak sekolah membolehkan orangtua atau pengasuh menemani anak, tetapi hari-hari selanjutnya mereka harus pergi, membiarkan anak menghadapi situasi yang baru sendiri.

Seorang anak yang mau membuka diri kepada gurunya, setelah ditinggal orangtua atau pengasuhnya di sekolah; anak itu akan lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Sedangkan anak yang tetap menutup diri, terus menangis dan mengharapkan  orangtua atau pengasuhnya kembali mendampinginya, maka anak itu akan sulit masuk ke dalam situasi yang baru.

***

Demikian pula yang terjadi, ketika Yesus memutuskan untuk kembali kepada Bapa di Surga. IA harus pergi, agar para rasul bisa menghadapi situasi sendiri dan belajar menjadi dewasa. Yesus telah menjanjikan akan mengirim Penolong yang lain yang akan menyertai selama-lamanya (lihat Yohanes 14:16).

Para rasul mengimani janji Yesus dan mau membuka diri mereka untuk menerima Penolong yang lain. Dengan dibimbing dan diterangi Roh Kudus, para rasul mampu berkarya menyebarluaskan Injil Kerajaan Allah, membuat bangsa-bangsa mengenal Kristus.

Bagaimana dengan kita? Kita tidak pernah bertemu dengan Yesus dalam wujud manusia. Tetapi, apakah kita bersedia membuka diri terhadap sapaan Roh Kudus dalam sanubari kita? Ataukah kita bersikukuh tidak mau mendengarkan, bahkan merasa tidak pernah mendengar suara lembut Roh Kudus dalam hati kita?

Menjelang Pentakosta, bukalah hati kita. Kenali Yesus lebih dekat, sehingga kita dimampukan untuk mencintaiNya. Setelah mengenal dan mencintaiNya, barulah kita bisa mewartakanNya kepada orang-orang di sekitar kita.

Senin, 04 Mei 2015

Paulus dan Barnabas

Ketika Saulus baru bertobat, ia ingin bergabung dengan para pengikut Kristus di Yerusalem. Tetapi mereka takut kepadanya, tidak percaya kalau Saulus sudah menjadi murid Kristus. Barnabas dengan berani menerima Saulus dan membawanya ke para rasul (Kisah Para Rasul 9:26-27).

Santo Lukas, penulis Kisah Para Rasul, mengatakan Barnabas orang baik, penuh Roh Kudus dan iman (lihat Kisah Para Rasul 11:24). Barnabas membawa Paulus ke Antiokhia, di sini murid-murid Yesus pertama kali disebut Kristen (lihat Kisah Para Rasul 11:25-26).

Selanjutnya duet Paulus dan Barnabas menjadi pewarta Injil ulung kepada bangsa-bangsa lain. Sampai suatu kali, Barnabas ingin menyertakan Yohanes atau dikenal dengan nama Markus, sepupunya, dalam perjalanan ke kota-kota yang pernah mereka berdua kunjungi. Paulus menolaknya.

Terjadi perselisihan tajam antara kedua sahabat pewarta ini (lihat Kisah Para Rasul 15:36-41). Barnabas tetap mengajak Markus ke Siprus, sedangkan Paulus membawa Silas ke Siria dan Kilikia. Tak diketahui bagaimana kelanjutan persahabatan di antara mereka. Sepertinya perselisihan tajam itu tidak berbuntut panjang. Paulus menulis dalam suratnya kepada orang-orang di Galatia, setelah 14 tahun, ia pergi ke Yerusalem dengan Barnabas dan Titus (lihat Galatia 2:1).

***

Jangan pernah mengompromikan nilai-nilai yang kita yakini kebenarannya. Agaknya prinsip ini yang dipegang Paulus dalam mewartakan Injil Kristus. Bahkan ia tak mau berkompromi dengan Barnabas yang pertama kali menerimanya dengan tulus dan terbuka. 

Bagi Paulus, apa yang dianggap tidak benar perlu dijauhi. Dalam surat kepada orang-orang di Galatia, Paulus mengisahkan tentang kemunafikan Petrus di depan golongan yang bersunat dan tidak bersunat. Menurut Paulus, dalam peristiwa itu, Markus - saudara Barnabas - juga ikut terseret dalam kemunafikan (lihat Galatia 2:11-14).

Ketika sahabat atau orang yang dekat dengan kita tidak lagi berjalan dalam prinsip-prinsip yang kita yakini kebenarannya, apakah kita berani berterus terang kepada orang itu, mencari titik temu tanpa mengompromikan nilai-nilai kita?

Pada saat kita memutuskan untuk memilih jalan yang lain, yang berbeda dengan sahabat atau orang yang dekat dengan kita; apakah kita tetap teguh menjalaninya tanpa merasa tidak enak dan bersalah kepada orang itu?

Merenungkan relasi antara Paulus dan Barnabas, ternyata Yesus pun bisa memakai ketidaksepahaman antara dua sahabat untuk lebih meluaskan pewartaan Injil. Perpisahan Paulus dengan Barnabas memungkinkan Injil Kristus tersebar lebih luas di beberapa wilayah berbeda, ketimbang mereka berjalan bersama ke satu wilayah.

Selalu ada sisi positif dalam setiap peristiwa, meskipun di mata manusia yang tampak adalah sisi negatifnya.