Kamis, 21 Mei 2015

Bertahan dalam Penantian

Menanti adalah pekerjaan yang menimbulkan harapan sekaligus kecemasan selama penantian. Contohnya, ketika kita menanti anak kita pulang ke rumah dari bepergian. Kita berharap segera bertemu dengannya, tetapi selama menanti itu kita diwarnai kecemasan apalagi jika hari sudah larut malam.

Menanti dengan batas waktu tertentu lebih ringan, daripada menanti tanpa batas waktu yang jelas. Misalnya, seseorang berjanji bertemu dengan kita lima jam lagi. Kita menantinya, tetapi kita tenang karena yakin lima jam lagi akan berjumpa dengan orang itu. Lain halnya jika kita diminta menanti terus, tanpa batas waktu sebagai akhir penantian.

Itulah yang terjadi dengan kesebelas rasul dan Bunda Maria, ketika Yesus telah naik ke Surga. Yesus berpesan agar mereka tetap bertahan di Yerusalem, menanti kedatangan Roh Kudus. Yesus tidak mengatakan batas waktu penantian itu (lihat Kisah Para Rasul 1:4).

Tak ada yang tahu, kapan penantian akan berakhir. Setiap hari mereka berkumpul di ruang atas untuk berdoa (lihat Kisah Para Rasul 1:13-14). Ada harapan, namun diliputi kecemasan. Mereka takut pada orang-orang Yahudi.

Dalam masa penantian yang tak berujung ini, orang-orang yang menanti cenderung beralih dari fokus yang dinanti. Tidak ada kejelasan, sementara banyak tawaran lain yang menarik datang menghampiri.

Satu hal yang diperlukan: bertahan dalam penantian!  

Memang tidak enak - membosankan, membuat hati berharap-harap cemas, ingin segera mencapai akhir penantian. Namun, jangan berpaling dari fokus, yang dapat membuat kita menyesalinya setelah penantian berakhir.

IA yang menjanjikan, tentu tahu batas kesanggupan penantian setiap manusia. Jika kita tetap bertahan dalam penantian, yakinlah, kebahagiaan telah menunggu di ujung penantian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar