Kamis, 01 November 2012

Menjadi Kudus

Selain Engkau - Putra Allah yang menjelma menjadi manusia - tak ada satu manusia pun yang sempurna. Tetapi, meski tidak sempurna, manusia bisa menjadi kudus.

Kekudusan berbeda dengan kesempurnaan. Menurut Romo Yohanes Indrakusuma, O.Carm, ketika orang sudah sampai pada tahap persatuan dengan Allah Tritunggal - dirinya semakin peka dan penurut untuk digerakkan dan dibimbing oleh Roh Allah. Seluruh kehendak diarahkan kepada Allah, orang itu masih memiliki kelemahan-kelemahan, tetapi dosa-dosa yang disengaja sudah tidak ada lagi.

Orang-orang seperti itu adalah kudus, tetapi tidak sempurna. Orang-orang kudus masih memiliki keterbatasan dan kekurangan, namun semua kekurangan itu tidak mengurangi kekudusan mereka dan Tuhan juga tidak memerhatikannya, kecuali untuk semakin menyadarkan mereka akan kekecilan dan kekosongan mereka sendiri.

Sebagai contoh, St. Theresia Lisieux masih menunjukkan ketidaksabaran pada saat-saat terakhir hidupnya. Namun, ia cepat sekali menyadarinya dan merendahkan diri. Sikap rendah hati ini jauh lebih berkenan kepada Allah daripada kekurangsabarannya.

Menjadi kudus bukanlah pertama-tama soal berapa banyak kita terjun dalam kegiatan-kegiatan gerejani, berapa banyak karya sosial yang kita lakukan, atau berapa banyak doa-doa dan devosi-devosi yang kita jalankan. Semuanya itu memang perlu, tetapi bukan itu yang terutama, bukan itu yang menjadi intinya. Intinya ialah supaya hati kita berubah menjadi hati yang penuh kasih.

Menjadi kudus bukan lain daripada menghayati dengan segenap hati perintah Allah yang mencakup segala-galanya, yaitu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 22:37-40) - dari buku Dalam Keheningan Dasar Samudera Ilahi - Menjelajahi Puri Batin Teresa Avila karya Romo Yohanes Indrakusuma, O.Carm.

Untuk dapat mengasihi Tuhan Allah dan sesama yang merupakan inti kekudusan, kita perlu bersikap dan berperilaku yang pantas seperti orang-orang kudus. St. Paulus menyebut beberapa sikap dan perilaku sehari-hari yang perlu dihindari orang-orang kudus, yaitu percabulan, rupa-rupa kecemaran atau keserakahan, perkataan yang kotor, kosong atau sembrono (Efesus 5:3-4).

Menjelang wafatMu di kayu salib, Engkau berdoa kepada Bapa untuk dua belas rasulMu. Dalam doa yang tentunya Kau tujukan juga bagi semua orang yang mengasihiMu, Engkau meminta agar Bapa menguduskan para rasul dalam kebenaran. Firman Allah adalah kebenaran. Dengan berpegang pada firman Allah, manusia dapat menjadi kudus. Lalu, setelah menjadi kudus, Engkau mengutus para rasul ke dalam dunia. Kekudusan bukan hanya menyangkut relasi dengan Tuhan. Perutusan ke dalam dunia mengandung makna kekudusan perlu ditampakkan dan ditularkan kepada orang-orang lain.     

"Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran. (Yohanes 17:17-19).

Menjadi kudus bukanlah suatu khayalan yang tidak mungkin menjadi kenyataan. Rambu-rambunya sudah ada, tinggal tergantung apakah kita sungguh berniat mewujudkannya dalam kehidupan kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar