Cinta
indrawi memang menggairahkan dan menggembirakan. Mengapa? Karena kita
merasakan sensasi-sensasinya secara langsung lewat indra kita. Tatapan mata,
senyum menawan, sentuhan lembut, ucapan penuh perhatian membuat perasaan kita
melambung. Namun sejatinya, cinta seperti ini mudah luruh.
Apa
jadinya, ketika orang yang kita cintai – secara indrawi – itu tidak lagi
menatap mesra, tak mengukir senyum
manis, tidak menyentuh penuh kasih, apalagi melontarkan ucapan-ucapan bernada
lembut penuh perhatian?
Dengan
mudah kita mencampakkan orang yang “dicintai” itu, karena ia tidak lagi
memenuhi sensasi-sensasi indrawi kita. Tak heran kita mendengar berita atau
menyaksikan sendiri pasangan-pasangan yang telah bertahun-tahun mengarungi
bahtera hidup bersama pun dapat mengakhiri relasi mereka lantaran masalah
seperti pasangan sakit berat, pasangan selingkuh, pasangan kehilangan
pekerjaan, ketidakcocokan prinsip dan pemikiran dengan pasangan, serta persoalan manusiawi lainnya.
Sebaliknya,
Cinta Roh tak lekang oleh kondisi apa pun, tak terbatasi oleh ruang dan waktu.
Cinta Roh memang tidak menimbulkan sensasi-sensasi menggelegak seperti cinta
indrawi, namun getar-getar Cinta Roh bergema terus di hati sang pencinta.
Lembut dan abadi.
Dalam
relasi antarmanusia, Cinta Roh dapat ditemui pada pasangan-pasangan lanjut usia
yang masih saling mengekspresikan kasih di antara mereka. Seorang bapak berusia
85 tahun masih sehat dan belum pikun, menemani istrinya yang delapan tahun
lebih muda usianya tetapi sudah duduk di kursi roda dengan aneka macam
penyakit. Cinta Roh diperlihatkan pula oleh orang-orang yang menerima orang
lain – pasangan hidup dan sesama – apa adanya, di atas segala perbedaan prinsip
dan keyakinan, kelemahan dan kejatuhan pasangan hidup atau orang lain.
Esensi
Cinta terdalam hanya ada dalam roh dan jiwa, bukan daging yang kasat mata. Roh
dan jiwa merupakan bagian permanen dari manusia yang fana. Orang yang telah dapat
mencintai manusia lain dengan Cinta Roh, berarti orang itu telah mencapai tahap
cinta tertinggi – kalau tidak dapat dikatakan sempurna, karena tak ada yang
sempurna di dunia ini.
Cinta
Roh-lah yang ditunjukkan Allah kepada umat manusia ciptaanNya. Bayangkan, jika
Allah mencintai manusia dengan cinta indrawi, tentu umat manusia sudah
berulang kali dimusnahkanNya seperti zaman nabi Nuh.
Cinta
Roh pula yang sepatutnya mendasari relasi manusia dengan Sang Pencipta. Kita
menjalin relasi dengan Tuhan bukan lantaran Ia telah berbuat baik – memberi
kita kesehatan, memberi kita banyak berkat, mengabulkan doa-doa permohonan
kita, dan berbagai tolok ukur indrawi lainnya.
Cinta
kita kepada Tuhan semata karena roh dan jiwa kita bersatu dengan Roh Tuhan. Tak
peduli kondisi apa pun yang menimpa kita selama hidup di dunia ini – didera
bermacam penyakit, doa-doa tak terkabul, masalah demi masalah muncul – semua
itu tak menggoyahkan cinta kita kepada Tuhan, karena bukan lagi hal-hal
indrawi yang menjadi dasar relasi kita dengan Tuhan.
Persatuan
roh dan jiwa manusia dengan Roh Tuhan dalam Cinta Roh memberi penghiburan dan
kekuatan pada saat kita melalui masa-masa sulit. Kita dapat memandang semua
peristiwa dengan cara pandang berbeda – semua hanya karena dan demi Cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar