Senin, 19 November 2012

Cinta Roh


Cinta indrawi memang menggairahkan dan menggembirakan. Mengapa? Karena kita merasakan sensasi-sensasinya secara langsung lewat indra kita. Tatapan mata, senyum menawan, sentuhan lembut, ucapan penuh perhatian membuat perasaan kita melambung. Namun sejatinya, cinta seperti ini mudah luruh.

Apa jadinya, ketika orang yang kita cintai – secara indrawi – itu tidak lagi menatap mesra, tak mengukir senyum manis, tidak menyentuh penuh kasih, apalagi melontarkan ucapan-ucapan bernada lembut penuh perhatian?

Dengan mudah kita mencampakkan orang yang “dicintai” itu, karena ia tidak lagi memenuhi sensasi-sensasi indrawi kita. Tak heran kita mendengar berita atau menyaksikan sendiri pasangan-pasangan yang telah bertahun-tahun mengarungi bahtera hidup bersama pun dapat mengakhiri relasi mereka lantaran masalah seperti pasangan sakit berat, pasangan selingkuh, pasangan kehilangan pekerjaan, ketidakcocokan prinsip dan pemikiran dengan pasangan, serta persoalan manusiawi lainnya.  

Sebaliknya, Cinta Roh tak lekang oleh kondisi apa pun, tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Cinta Roh memang tidak menimbulkan sensasi-sensasi menggelegak seperti cinta indrawi, namun getar-getar Cinta Roh bergema terus di hati sang pencinta. Lembut dan abadi.

Dalam relasi antarmanusia, Cinta Roh dapat ditemui pada pasangan-pasangan lanjut usia yang masih saling mengekspresikan kasih di antara mereka. Seorang bapak berusia 85 tahun masih sehat dan belum pikun, menemani istrinya yang delapan tahun lebih muda usianya tetapi sudah duduk di kursi roda dengan aneka macam penyakit. Cinta Roh diperlihatkan pula oleh orang-orang yang menerima orang lain – pasangan hidup dan sesama – apa adanya, di atas segala perbedaan prinsip dan keyakinan, kelemahan dan kejatuhan pasangan hidup atau orang lain.

Esensi Cinta terdalam hanya ada dalam roh dan jiwa, bukan daging yang kasat mata. Roh dan jiwa merupakan bagian permanen dari manusia yang fana. Orang yang telah dapat mencintai manusia lain dengan Cinta Roh, berarti orang itu telah mencapai tahap cinta tertinggi – kalau tidak dapat dikatakan sempurna, karena tak ada yang sempurna di dunia ini.

Cinta Roh-lah yang ditunjukkan Allah kepada umat manusia ciptaanNya. Bayangkan, jika Allah mencintai manusia dengan cinta indrawi, tentu umat manusia sudah berulang kali dimusnahkanNya seperti zaman nabi Nuh.   

Cinta Roh pula yang sepatutnya mendasari relasi manusia dengan Sang Pencipta. Kita menjalin relasi dengan Tuhan bukan lantaran Ia telah berbuat baik – memberi kita kesehatan, memberi kita banyak berkat, mengabulkan doa-doa permohonan kita, dan berbagai tolok ukur indrawi lainnya.

Cinta kita kepada Tuhan semata karena roh dan jiwa kita bersatu dengan Roh Tuhan. Tak peduli kondisi apa pun yang menimpa kita selama hidup di dunia ini – didera bermacam penyakit, doa-doa tak terkabul, masalah demi masalah muncul – semua itu tak menggoyahkan cinta kita kepada Tuhan, karena bukan lagi hal-hal indrawi yang menjadi dasar relasi kita dengan Tuhan.

Persatuan roh dan jiwa manusia dengan Roh Tuhan dalam Cinta Roh memberi penghiburan dan kekuatan pada saat kita melalui masa-masa sulit. Kita dapat memandang semua peristiwa dengan cara pandang berbeda – semua hanya karena dan demi Cinta.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar