Aku berada di tengah kerumunan umat yang mengikuti drama Jalan Salib. Rasanya seperti benar-benar mengiringiMu di Jalan Salib yang kau tempuh ribuan tahun lampau. Aku terdiam saat orang-orang Yahudi meneriakkan: "Salibkan Dia... Salibkan Dia..." Pun saat para prajurit menderaMu. Ah, mungkin memang itulah yang akan kulakukan, seandainya aku berada di Yerusalem saat Engkau memanggul salib.
Diam, hanya diam; tanpa tahu apa yang harus kuperbuat.
Diam, hanya diam; menatapMu menahan sakit lahir-batin.
Diam, hanya diam; menanti apa yang akan terjadi.
Banyak orang yang mengikutiMu di Jalan Salib ini menaruh harapan tinggi kepadaMu. Mereka telah melihat mukjizat-mukjizat besar yang Engkau lakukan: lima roti dan dua ikan bisa untuk mengenyangkan ribuan orang yang mendengarkan pengajaranMu, orang buta -melihat, orang lumpuh -berjalan, orang mati -bangkit kembali. Jika untuk orang-orang lain saja Engkau memperlihatkan hal-hal yang menghebohkan, tentu untuk diriMu sendiri Engkau dapat melakukan yang lebih dahsyat.
Nyatanya, Engkau kesakitan menanggung penyiksaan fisik.
Nyatanya, Engkau beberapa kali jatuh tertimpa salib.
Nyatanya, Engkau tak melakukan apa pun untuk menyelamatkan diriMu.
Apa yang kini dapat diharapkan dariMu? Engkau tak lebih dari manusia biasa yang penuh kelemahan. Semua muridMu meninggalkanMu, orang-orang mencibirMu, para pemuka agama menertawakanMu. Tak ada lagi kehebatan, kekuatan, kewibawaan yang tersisa padaMu.
Jalan SalibMu adalah jalan kesendirian dalam pengosongan diri.
Jalan SalibMu adalah jalan kelemahan manusia dalam kekuatan Allah.
Jalan SalibMu adalah jalan kebahagiaan dalam cinta sejati.
Dalam diam aku menapaki Jalan SalibMu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar