Merasa susah aku karena engkau, saudaraku Yonatan, engkau sangat
ramah kepadaku; bagiku cintamu lebih ajaib dari pada cinta perempuan (2 Samuel 1:26).
Begitulah Daud meratapi kematian sahabatnya Jonatan. Persahabatan sejati terjalin antara Jonatan anak raja Saul dengan Daud bakal raja yang akan menggantikan Saul. Membayangkan posisi kedua pemuda itu, sungguh sulit sebenarnya mendapati mereka bisa bersahabat baik.
Sebagai anak raja pertama Israel, jika Jonatan berpandangan sempit, ia tentu akan memusuhi Daud dan berharap kelak takhta kerajaan semestinya jatuh kepadanya atau saudara kandungnya. Tetapi Jonatan sadar dan menerima, suatu saat kedudukan ayahnya bakal diserahkan kepada Daud sebagai orang pilhan Allah yang telah diurapi nabi Samuel.
Sebagai bakal raja Israel, Daud berada di atas angin. Cepat atau lambat, ia akan naik takhta. Jika ia tinggi hati, tentu ia menampik uluran tangan persahabatan dari Jonatan. Apalagi ayah Jonatan, raja Saul, berusaha membunuh Daud yang dianggap Saul sebagai saingannya.
Berkaca pada relasi akrab antara Jonatan dan Daud, pada hakikatnya persahabatan adalah campuran anugerah Tuhan dengan keterbukaan hati di antara orang-orang yang bersahabat.
Sekeras apa pun usaha yang dilakukan seseorang untuk menjalin relasi dengan orang lain yang dianggap banyak kecocokan, bisa saling memahami, sejalan, seide, dan sebagainya; tidak akan dapat tercipta persahabatan jika Tuhan tidak menghendakinya.
Mungkin hanya terjadi perbincangan mengesankan sesaat karena kecocokan, namun kemudian kedua pihak dipisahkan oleh tempat, waktu, kesibukan berbeda yang membuat relasi tak langgeng.
Bisa terjadi, orang yang ingin sekali berelasi terus "menggempur" calon sahabatnya dengan aneka cara, tetapi tetap saja tidak terjalin persahabatan yang setara dan tulus. Mungkin yang terjadi adalah relasi yang berat sebelah - di satu pihak seseorang terus menjadi sang pemberi dengan harapan pihak yang dituju akan luluh hatinya dan mau menjadi sahabatnya. Sementara di pihak lain, karena tidak ada keterbukaan hati, si penerima sudah cukup senang memperoleh kecukupan kebutuhan, tanpa merasa perlu dan tergerak untuk menjalin relasi setara dan timbal-balik yang tulus dengan sang pemberi.
Persahabatan sepertinya mudah dijalin, tetapi sejatinya butuh anugerah Tuhan dan keterbukaan hati kedua pihak yang bersahabat; seperti dikatakan Santo Paulus, "... suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah (2 Korintus 1:12).
Pasang surut suatu relasi diuji dalam putaran waktu. Sahabat sejati adalah orang yang dapat terus bertahan dalam kasih dan kesetiaan yang setara dan timbal-balik yang tulus kepada sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar