Setelah
menjalani proses kremasi selama tiga jam, petugas krematorium memanggil
kami. Kepada kami ditunjukkan tiga nampan berisi serpihan
tulang-belulang Ibu. "Ini termasuk putih," kata petugas tersebut.
Petugas yang telah puluhan tahun menangani pembakaran jenazah itu lalu menjelaskan, tulang-belulang yang berwarna putih menandakan semasa hidup sang
pemilik tulang adalah orang yang baik, hatinya bersih.
Ibu menjalani
hidupnya di dunia selama 77 tahun dengan sangat sederhana, tanpa ambisi
pribadi. Hari-hari Ibu disibukkan dari pagi sampai malam
dengan melayani keluarga tanpa pamrih. Orang-orang kecil yang ada di sekitar tak luput dari perhatian besar Ibu.
Setelah
ayah berpulang tahun 2003, kami - enam anak Ibu - sibuk mengurus keluarga masing-masing, Ibu banyak menghabiskan waktu dalam kesendirian. Keceriaan Ibu hilang, berganti dengan kecemasan yang kerap kali melingkupi beliau.
Kami mengira Ibu bisa berangsur menjadi kuat kembali, seperti ketegaran beliau menghadapi aneka tantangan kehidupan selama ini. Nyatanya, Ibu semakin melemah, apalagi beberapa penyakit yang mendera tubuh beliau.
Setelah sepuluh tahun hidup dalam kelimbungan akibat kehilangan ayah yang selama ini menjadi tumpuan hidup, Ibu mengikuti Bunda Maria, ayah beliau, dan suami beliau (ayah kami) yang datang menjemput beliau seiring munculnya fajar 15 Oktober 2013.
Bagiku, Ibu adalah teladan kejujuran, kesederhanaan, kesetiaan, dan ketegaran. Aku bersyukur kepadaMu, yang telah memberiku contoh nyata seorang Ibu yang menjalani kehidupan di dunia ini dengan ketulusan hati.
Kini Ibu telah menikmati kebahagiaan kekal bersama kedua orangtua beliau dan suami tercinta dalam Kerajaan KudusMu.
Serpihan
tulang-belulang berwarna putih menjadi bukti: ada kaitan antara yang
batiniah dan yang lahiriah, antara sikap dan perilaku seseorang semasa
hidup di dunia dengan warna tulangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar