Aku telah bersedia mengiringi langkahMu, mengikuti ke mana Engkau membawaku, terutama dalam tiga hari ini, saat aku benar-benar sendirian. Hari pertama, terjadi pergumulan hebat menjelang senja. Seperti pergumulanMu di Taman Getsemani. Merasa ditinggalkan, menghadapi semua yang menakutkan sendirian....
Hampir dua jam aku bergumul, sampai batas kekuatanku. Ada dorongan untuk meminta tolong pada orang-orang yang kukenal. Tetapi aku bertahan dalam kesendirian, lalu aku berdoa Rosario dan melepaskannya.... Dengan berjarak, aku dapat melihat pergumulan yang bagai pertempuran itu sungguh menguras habis energi. Aku kelelahan. Engkau berkata, "Jika kamu bisa hidup tanpa pikiran dan perasaan, maka tak akan ada lagi rasa takut." Hatiku mulai tenang.
Hari kedua, aku bangun dengan segar. Dalam terangMu aku mendengar Kau berkata, "Sesungguhnya musuh lama si setan bukanlah makhluk mengerikan di luar dirimu, melainkan dirimu sendiri dengan segala nafsu dan keinginannya." Sungguh tepat apa yang Kau bisikkan padaku. Pertempuran menghadapi diri sendiri adalah pertempuran terberat.
Siang hari aku memandang wajahMu yang selalu penuh kasih, meskipun aku penuh kelemahan. Kau memelukku dengan hangat. Aku terdiam dalam keharuan. Segala aktivitas dapat kulalui hari ini dengan baik dan lancar, tanpa merasa sakit. Bahkan Kau menyediakan kendaraan umum yang memudahkan aku pergi ke dan pulang dari tujuan.
Sore hari aku menemui seorang dokter. Bukan hanya mengobati gigi, ia bercerita panjang lebar tentang berbagai penyakit yang membuat rasa takutku bangkit kembali. Oh, memang cobaan ini tak henti menghadang. Aku tak ingin terpengaruh perkataannya. Betapa pun ia hanya manusia juga, seperti aku, bukan seperti Engkau yang Maha Kuasa.
Malam hari aku membaca buku Salam Damai dari Assisi, yang mengulas kehidupan St. Fransiskus Assisi. Dikisahkan, setelah Fransiskus mengalami Tuhan yang menyentuhnya, ia merasa hidup dalam ketidakpastian dan ketidakpuasan. Ia tidak tahu ke mana arah yang dituju. Ia mendengar suaraMu untuk memperbaiki GerejaMu yang hampir roboh. Semula, Fransiskus berpikir, Engkau memintanya memperbaiki bangunan fisik gereja, belakangan bermakna kehidupan menggereja yang mulai tergerus di zaman itu. Apakah yang Engkau minta untuk aku lakukan di zaman sekarang?
Ketika bangun di hari ketiga, aku pikir hari ini aku akan mengalami yang lebih menenteramkan, setelah kemarin Engkau melawatku. Nyatanya, pagi ini aku bangun dengan rasa sangat tidak nyaman di dalam tubuhku. Kalimat-kalimat sang dokter kemarin, kembali terngiang. Ah, mengapa aku begitu mudah dipengaruhi?
Tubuhku terasa lemah. Denyut nadi bertambah cepat. Aku bergumul, antara menyerah dan pergi ke rumah sakit atau bertahan sesuai janjiku padaMu selama tiga hari ini. Aku ingat akan kasih setiaMu. Kau tak pernah ingkar janji. Mengapa aku harus menyerah? Aku akan bertahan bersamaMu, aku ingin lulus dari ujian kesetiaan ini. Aku tahu, Kau tak akan membiarkanku menderita melebihi kemampuanku.
Aku berupaya mengobati diriku dan menguasai tubuhku. Hidup-matiku ada di tanganMu. Engkau tahu apa yang terbaik untukku. Semoga hidupku menjadi pujian kemuliaan bagi namaMu. Menjelang siang, aku sudah bisa mengendalikan keadaan lahir dan batinku.
Menunggu saat berdoa Koronka pukul 15, Engkau berkata, "Yang Kuinginkan cintamu sepenuh hati, tanpa rasa ragu dan takut." Aku terkesiap. Ya, sudah lebih dari dua bulan imanku naik-turun seirama penyakitku. Kita lalu bersepakat, akan saling mengasihi tanpa rasa ragu dan takut.
Kedamaian melingkupi. Aku tak lagi khawatir akan penyakitku. Bukankah selama ini Kau selalu menjagaku, memberitahu rambu-rambu, dan membawaku pada pengobatan yang tepat? Aku akan mengerjakan bagianku untuk memerhatikan kesehatanku dan selebihnya adalah bagianMu. Terima kasih, Engkau sangat mengasihiku....
Perjalanan tiga hari non-stop bersamaMu telah berakhir. Aku bersiap ke luar kota untuk keperluan keluarga keesokan harinya. Semua persiapan telah rapi, tetapi karena beberapa alasan, aku lalu membatalkannya. Aku memperpanjang sehari lagi kebersamaan denganMu. Ternyata, bukan tanpa cobaan - masalah yang dihadapi anakku dan berbagai pikiran terkait sakitku.
Oh... lagi-lagi diri ini muncul. Mengapa aku tidak bisa pasrah seperti orang-orang kecil yang melihat sakit yang mereka derita dari kacamata sangat sederhana: hanya karena masuk angin? Tak ada cara lain melawan godaan-godaan ini, kecuali dalam doa.
Seusai berdoa, jantung yang berdegup keras selama setengah hari tadi tak lagi terasa. Meskipun hujan cukup lebat sore ini, aku tak merasa kesepian dan ketakutan. Aku merasakan penyertaanMu. Begitu pula malam ini, ketika akan beranjak tidur. Aku merasa begitu damai.
Baru dua jam terlelap, aku terbangun dalam kegelapan pekat. Rupanya, aliran listrik mati. Gelap... di mana-mana gelap.... Haruskah aku bangun menyalakan lilin atau senter? Tetapi, untuk apa? Aku lebih memilih kembali memejamkan mata dan memasrahkan semuanya kepadaMu. Malam gelap ini menjadi titik puncak penyerahan total diriku padaMu.
Betapa sangat berharga pengalamanku berjalan bersamaMu secara khusus dalam empat hari ini. Bersama nabi Ayub kini aku dapat berujar: "Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau." (Ayub 42:5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar