Aku mengenalnya di awal ia merintis karier. Kami bekerja di kantor yang sama. Seorang yang bersemangat tinggi, dengan pemikiran kritis dan lontaran kata-kata tegas. Sebagai pendatang dari perantauan, prestasi kerja dan peningkatan karier menjadi cita-cita dan impian yang ingin diraihnya.
Lalu, kami berpisah jalan lantaran fokus yang berbeda. Beberapa kali aku masih menemukan jejak keberadaannya di ruang-ruang publik. Kariernya memang terus menanjak, sesuai harapannya.
Dua puluh lima tahun berlalu. Terkejut aku menerima berita kematiannya. Lebih terkejut lagi ketika aku menghadiri misa requiem-nya. Imam yang mempersembahkan Perayaan Ekaristi menceritakan betapa temanku ini sangat berdedikasi bagi Gereja dengan memberikan pelayanan sepenuh hati.
Melintas dalam bayanganku, betapa kontras pilihan hidupnya seperempat abad lalu dengan yang dijalaninya beberapa tahun terakhir. Orang dapat berubah, asalkan terbuka pada rencana dan kehendak Tuhan.
Dari pengalaman hidup teman itu, dapat dipetik hikmah: meski manusia berjarak dengan Sang Pencipta, pada akhirnya dengan berbagai cara, Tuhan akan memanggil anak-anak-Nya kembali mendekat kepada-Nya. Semua akan pulang, menuju kehidupan kekal.